Seekor anak buaya terbawa arus banjir hingga sampai ke pemukiman warga. kemudian anak buaya putih itu diselamatkan oleh Ki Lebe Kamal karena mau di bunuh oleh penggembala kerbau karena ditakutkan buaya itu akan makan kerbau miliknya. Kemudian Ki Kamal membawa dan memelihara anak buaya di Kedokan Taluntaka (telaga) di samping balai desa Jatisawit. Karena Ki Kamal tidak mempunyai anak, maka Ki Kamal sayang banget sama buaya putih peliharaannya, anak buaya itu diurusnya dengan baik seperti mengurus anaknya sendiri. Dan yang sangat mengembirakan Ki Kamal dan istri, buaya tersebut tak pernah bikin ulah, tak pernah mengganggu orang dan hewan peliharaan, bahkan cara makannya pun seperti layaknya manusia, buaya ini suka nasi, tahu tempe goreng, sambel pete, dan suka juga dengan minum kopi atau teh manis.

Seiring berjalannya waktu, Jumad lalu membawa istrinya ke habitatnya yaitu dasar sungai cimanuk. Kedatangannya disambut gembira oleh keluarga dansangat dihormati olwh warga dasar sungai cimanuk. Jumad jarang dirumah dan setiap dia mau pergi selalu berpesan pada maryam istrinya agar jangan sekali-kali naik ke langit-langit rumah. Ternyata larangan suaminya membuat penasaran Maryam, lalu naiklah dia ke langit-langit, dan begitu sampai diatas maka sampailah dia ke daratan.
Karena merasa bingung harus berbuat apa, maka pulanglah Maryam ke rumah orang tuanya sambil menangis menyesal karena tak mengindahkan larangan suaminya. Seminggu kemudian Jumad menyusul Maryam ke rumah mertuanya, tapi Maryam tak mau diajak kembali ke negeri dasar sungai cimanuk yang menurutnya banyak keanehan. Akhirnya Jumad pulang sendirian. tapi sebelum pulang jumad memberikan bedug kepada Maryam dan mertuanya dan berkata kapanpun mereka memerlukan Jumad, mereka bisa memukul bedug itu.
Kabar tentang suami Maryam dan perihal bedug itu terdengar luas, dan pengembala kerbau yang dulu mau membunuh anak buaya mendengar juga kabar itu. Karena tidak percaya maka dipukulnya bedug itu berkali-kali, dan muncullah buaya-buaya dari sungai cimanuk sehingga membuat geger dan menakutkan warga sekitar. Buaya-buaya itu kumpul dirumah Kuwu Sardana dan menanyakan mengapa mereka dipanggil. Kuwu Sardana lalu minta maaf atas ulah pengembala kerbau yang tak percaya perihal pemukulan bedug sebagai pemanggilan para buaya.
Maka untuk menghindari peristiwa itu terjadi lagi maka atas usul beberapa warga maka bedug itu di hanyutkan di sungai cimanuk agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Dan sampai sekarang Masjid Desa Jati sawit tidak pernah lagi memiliki bedug, dan masyarakat Desa Jatisawit tak ada lagi yang berani memeukul bedug.
Sumber:
Mimi Karsih Pawidean
Bapa Bodong Arjawinangun
Cerita Rakyat Masyarakat Jatisawit dan sekitarnya
Bukan Cerita Berdasarkan Fakta Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar